MENGHINDARI PERANGKAP PEMBUATAN
KEPUTUSAN YANG KELIRU.
Artikel ini berisi tentang:
Melakukan
evaluasi terhadap pembuatan struktur kerja sebelumnya. Pembuatan struktur kerja
model pertama, kedua dan ketiga. Contoh kasus melakukan perubahan terhadap
metode struktur kerja. Hal yang sulit di sadari apabila kita berhasil
menggunakan sebuah metode karena keberuntungan –dan bukan metode ilmiah. Posisi
dalam sebuah organisasi yang membutuhkan keputusan yang tepat, tajam namun
tetap berhati- hati. Metode kedua yang sulit di sadari kekurangan/ kelemahan
nya karena orang masih terpaku pada metode pertama/ sebelumnya yang lebih
buruk. Pengertian Relativitas terhadap hal yang lebih baik.
EVALUASI DALAM MENETAPKAN STRUKTUR KERJA.
Di
malam ini, saya mencoba melakukan evaluasi diri mengenai prilaku saya
sebelumnya dalam membuat struktur kerja. Saya merasa, malam ini ada sebuah
ganjalan di dalam fikiran saya. sebuah pertanyaan; “apakah pola saya dalam
membuat struktur kerja di waktu sebelumnya sudah tepat?”. Karena, saya merasa
ada sebuah pola/ metode yang lebih baik dalam membuat dan menetapkan struktur
kerja, sehingga pola/ metode yang sebelumnya bisa dirasa menjadi “buruk/ kurang
baik” [Catatan kaki 1: Relativitas terhadap hal yang lebih baik].
Well, saya akan menjelaskan pola struktur
kerja saya yang saya gunakan sebelumnya. Saya sering membuat pelengkap dari
sebuah struktur kerja pokok. Walaupun struktur kerja pokok tersebut masih belum
dipastikan keberhasilan nya. alasan saya adalah; apabila saya membuat struktur
kerja pelengkap terlebih dahulu, maka ketika struktur kerja pokok ternyata
berhasil dilakukan, maka saya akan dengan mudah dan cepat menuju ke rencana
utama saya. Kelemahannya adalah; apabila struktur kerja pokok YANG BELUM PASTI
tersebut di jalankan, dan pada saat itu pula struktur kerja pelengkap pun di
buat dengan dasar struktur kerja pokok –yang belum pasti keberhasilan nya,
ketika struktur kerja pokok ternyata menghasilkan kegagalan, maka tenaga dan
waktu saya dalam membuat struktur kerja pelengkap akan menjadi sia- sia.
Baik,
saya akan menjelaskan nya dengan contoh kasus agar Anda sekalian lebih mudah di
mengerti. Saya ibaratkan, hari ini saya dalah pembuat kue. Saya ingin membuat
kue tar yang isinya apel. Asumsi saya saat itu –yang belum tentu terbukti
benar- adalah bahwa kue tar saya yang isinya apel tersebut ketika selesai saya
buat rasanya akan sangat lezat. Dengan berkeyakinan yang tinggi terhadap kue
tar yang saya buat hasilnya akan sangat lezat, maka saya ingin
mendokumentasikan cara pembuatan dan
keterangan komposisi nya agar suatu hari saya bisa membuat kue tar yang lezat
seperti itu lagi. saya menulis ciri- ciri buah apel yang menurut saya cocok di
jadikan isi kue Tar. Saya pula mendokumentasikan nama pedagang dan alamatnya
agar suatu hari saya menemukan jenis apel yang sama dan bisa saya dapatkan
dengan mudah. Begitu pula dengan bahan yang lain, seperti terigu, gula, telur,
mentega, dll. saya menuliskan ciri- ciri bahan tersebut dengan sangat detail dan
lengkap dan juga menuliskan alamat pedagang nya. Nah, dalam mendokumentasikan
hal ini, saya membutuhkan waktu lebih dari 1 minggu dan uang yang cukup banyak
hanya untuk membuat dokumentasi komposisi kue Tar. Baik... waktu, tenaga dan
uang sudah keluar sangat banyak untuk mendokumentasikan komposisi kue Tar ini.
setelah saya membuat kue Tar tersebut, ternyata memang, hasilnya sangat
istimewa dan lezat. Karena hasilnya lezat, banyak sekali orang yang memesan kue
Tar kepada saya. saya dapat dengan segera melayani pembeli yang memesan kue Tar
kepada saya . Hanya dalam kurun waktu beberapa hari, saya bisa membuat kue Tar
berskala banyak, dengan rasa yang sama lezatnya karena saya telah
mendokumentasikan diskripsi komposisinya sebelumnya. Apabila saya tidak mendokumentasikan
komposisinya secara detail, mungkin saya akan kesulitan membuat kue Tar yang
sama lezatnya seperti pada waktu percobaan pertama saya yang berhasil dengan
sukses.
Yap...
ini metode yang bagus. Mendokumentasikan bahan pembuatan agar bisa membuat kue
Tar yang sama lezatnya. Di saat itu, saya pun memiliki keyakinan yang tinggi
bahwa; metode pendokumentasian bahan baku dalam sebuah percobaan/ eksperimen
pembuatan kue adalah hal yang sangat bagus untuk dilakukan. Namun, disinilah
letak kerancuan yang terjadi... Saya kemudian mencoba membuat kue donat.
Metodenya sama; saya mendokumentasikan komposisi pembuatan kue donat dengan
sangat detail. Setelah banyak tenaga, waktu dan fikiran yang saya keluarkan
dalam mendokumentasikan bahan baku kue donat, ternyata kue donat yang saya buat
rasanya TIDAK ENAK. Saya kemudian melakukan percobaan kedua, masih dalam
membuat kue donat. Saya membuat kue donat dengan komposisi yang berbeda. Yah,
seperti biasa, saya mendokumentasikan bahan baku kue donat nya sebelumnya
dengan sangat detail. Waktu, tenaga dan uang keluar lagi. ternyata, percobaan
yang kedua ini juga gagal. Kue donat yang saya buat rasanya semakin TIDAK ENAK.
Saya melakukan percobaan ke tiga sampai dengan ke 20 dengan metode yang sama
–mendokumentasikan bahan baku nya. baru di percobaan ke 20 inilah, kue donat
yang saya hasilkan rasanya enak. Tapi, setelah saya hitung- hitung lagi,
ternyata percobaan saya membuat kue donat selama 20 kali ini mengeluarkan biaya
lebih dari 2 juta rupiah dan waktu yang saya butuhkan adalah 5 bulan. WOW...
biaya eksperimen yang sangat tinggi !!!. mengapa terjadi biaya eksperimen yang
begitu tinggi seperti ini?, dan mengapa waktu yang di butuhkan sangat lama?.
hal ini di karenakan; saya selalu mendokumentasikan secara mendetail mengenai
komposisi kue donat. Apabila saya mencatat hal penting perihal komposisi kue
donat secara sederhana saja, biaya yang saya keluarkan mungkin hanya sekitar
100 ribu dan waktu yang saya butuhkan hanya 1 minggu. Ketika saya telah
berhasil membuat kue donat yang lezat, barulah saya melengkapi data mengenai
bahan baku pembuatan kue donat tersebut.
Ini
sungguh kerancuan yang sangat berbahaya dan sulit di sadari oleh orang apabila
dia bukan orang yang tajam melihat dinamika kehidupan. Memang benar, saya melihat
dan tidak menyadari bahwa metode yang saya lakukan tersebut adalah metode yang
buruk karena saya merasakan manfaat nya yang begitu hebat untuk kali
pertamanya. Namun, kali pertama tersebut saya di bantu oleh keberuntungan. Saya
sangat beruntung, saya merencanakan bahan baku kue Tar yang ternyata
menghasilkan kue yang lezat. Tapi, di percobaan kedua, saya tidak beruntung
karena saya merencanakan bahan baku donat yang menghasilkan donat yang tidak
enak. Apabila saya meneruskan metode
eksperimen seperti ini, maka bisa- bisa saya hanya mampu menghasilkan
varian/ ragam kue hanya sekitar 2 buah dalam satu tahun.
Kerancuan
saya semakin sulit di sadari karena di metode sebelum pembuatan kue Tar ini,
saya melakukan eksperimen dengan gaya serampangan. Saya membeli bahan baku,
tapi tidak mencatat keterangan bahan bakunya. Tidak mencatat sama sekali.
Akhirnya, ketika saya berhasil membuat kue yang lezat, saya lupa terhadap
komposisi/ bahan baku yang saya gunakan. Akhirnya, eksperimen pembuatan kue
yang saya lakukan semuanya gagal total. Metode pertama ini lebih buruk lagi
dari metode kedua. Metode kedua mengisahkan, bahwa saya membuat kue tar dengan
cara mendiskripsikan secara mendetail komposisi bahan baku yang saya gunakan.
Bahkan sangat mendetail. Akhirnya, saya hanya bisa menghasilkan sekitar 2 buah
kue yang lezat dalam kurun waktu 1 tahun. Akhirnya, saya menggunakan metode
ketiga. Metode ketiga ini mengisahkan mengenai pembuatan kue yang dimana
komposisinya saya catat, tapi tidak terlalu mendetail. Saya bisa membuat 1
variasi kue dalam kurun waktu 1 minggu. Setelah kue jadi, baru saya mencari
informasi yang lebih lengkap lagi mengenai komposisi yang saya gunakan.
Pembuatan
kue di atas hanyalah sebuah contoh kasus saja. Karena saya tidak pernah membuat
kue. Sebelumnya, Saya membuat struktur kerja menggunakan metode yang sama
seperti metode kedua dalam pembuatan kue Tar. Sekarang ini, karena saya
memiliki metode yang lebih baik, yaitu metode ketiga. Saya meneliti aspek dalam
sebuah struktur kerja pokok terlebih dahulu. Baru, setelah struktur kerja pokok
telah berhasil di jalankan, barulah saya membuat struktur kerja pelengkap.
Ini
memang sebuah hal yang sederhana. Dan seringkali, orang mengabaikan hal ini.
dalam posisi manajemen yang tidak begitu kritis, hal seperti ini memang tidak
cukup penting. Namun, apabila seseorang berada di posisi manajemen paling
puncak, dan bersinggungan langsung terhadap resiko yang besar, maka pola fikir
yang akan terjadi adalah “melakukan suatu hal dengan kehati- hatian yang sangat
dalam”. Apabila orang sudah bersikap sangat hati- hati, maka dia juga akan
berfikir lebih hati- hati lagi dalam membuat keputusan –dan seringkali akan
lambat dalam melakukan perubahan. Namun, apabila orang yang menduduki posisi
kritis dan bersinggungan dengan resiko langsung tersebut adalah orang yang
berani melangkah dan memiliki pandangan yang tajam terhadap sebuah situasi, dia
akan lebih cepat menyadari kerancuan wawasan seperti ini.
Catatan kaki 1: Relativitas terhadap
hal yang lebih baik.
Ada
seorang gadis cantik di sebuah desa. Menurut orang- orang desa, gadis tersebut
adalah gadis tercantik yang pernah mereka lihat. Suatu ketika, ada konser di
desa tersebut yang menampilkan seorang gadis foto model dari kota besar. Pada
saat itu, si bunga desa di minta untuk membawakan acara pembukaan konser
tersebut. secara langsung, si gadis desa itu bertemu dengan foto model dari
kota besar yang lebih cantik dari dia. Orang- orang desa kemudian akan
menganggap bahwa “gadis bunga desa itu lebih jelek daripada foto model dari
luar kota tersebut”.
Apabila
suatu hal pertama yang di anggap baik, namun di bandingkan dengan suatu hal
kedua yang lebih baik, maka asumsi manusia akan mengatakan “hal pertama adalah
buruk, dan hal yang kedua baik”. Manusia tidak akan mengatakan “hal pertama
adalah baik, dan hal yang kedua lebih baik dari yang pertama”.
0 comments:
Posting Komentar