Rabu, 08 Mei 2013

Evaluasi dalam dan Menetapkan Struktur Kerja.

MENGHINDARI PERANGKAP PEMBUATAN KEPUTUSAN YANG KELIRU.

Artikel ini berisi tentang:
Melakukan evaluasi terhadap pembuatan struktur kerja sebelumnya. Pembuatan struktur kerja model pertama, kedua dan ketiga. Contoh kasus melakukan perubahan terhadap metode struktur kerja. Hal yang sulit di sadari apabila kita berhasil menggunakan sebuah metode karena keberuntungan –dan bukan metode ilmiah. Posisi dalam sebuah organisasi yang membutuhkan keputusan yang tepat, tajam namun tetap berhati- hati. Metode kedua yang sulit di sadari kekurangan/ kelemahan nya karena orang masih terpaku pada metode pertama/ sebelumnya yang lebih buruk. Pengertian Relativitas terhadap hal yang lebih baik.


EVALUASI DALAM MENETAPKAN STRUKTUR KERJA.
Di malam ini, saya mencoba melakukan evaluasi diri mengenai prilaku saya sebelumnya dalam membuat struktur kerja. Saya merasa, malam ini ada sebuah ganjalan di dalam fikiran saya. sebuah pertanyaan; “apakah pola saya dalam membuat struktur kerja di waktu sebelumnya sudah tepat?”. Karena, saya merasa ada sebuah pola/ metode yang lebih baik dalam membuat dan menetapkan struktur kerja, sehingga pola/ metode yang sebelumnya bisa dirasa menjadi “buruk/ kurang baik” [Catatan kaki 1: Relativitas terhadap hal yang lebih baik].

Well, saya akan menjelaskan pola struktur kerja saya yang saya gunakan sebelumnya. Saya sering membuat pelengkap dari sebuah struktur kerja pokok. Walaupun struktur kerja pokok tersebut masih belum dipastikan keberhasilan nya. alasan saya adalah; apabila saya membuat struktur kerja pelengkap terlebih dahulu, maka ketika struktur kerja pokok ternyata berhasil dilakukan, maka saya akan dengan mudah dan cepat menuju ke rencana utama saya. Kelemahannya adalah; apabila struktur kerja pokok YANG BELUM PASTI tersebut di jalankan, dan pada saat itu pula struktur kerja pelengkap pun di buat dengan dasar struktur kerja pokok –yang belum pasti keberhasilan nya, ketika struktur kerja pokok ternyata menghasilkan kegagalan, maka tenaga dan waktu saya dalam membuat struktur kerja pelengkap akan menjadi sia- sia.

Baik, saya akan menjelaskan nya dengan contoh kasus agar Anda sekalian lebih mudah di mengerti. Saya ibaratkan, hari ini saya dalah pembuat kue. Saya ingin membuat kue tar yang isinya apel. Asumsi saya saat itu –yang belum tentu terbukti benar- adalah bahwa kue tar saya yang isinya apel tersebut ketika selesai saya buat rasanya akan sangat lezat. Dengan berkeyakinan yang tinggi terhadap kue tar yang saya buat hasilnya akan sangat lezat, maka saya ingin mendokumentasikan cara pembuatan  dan keterangan komposisi nya agar suatu hari saya bisa membuat kue tar yang lezat seperti itu lagi. saya menulis ciri- ciri buah apel yang menurut saya cocok di jadikan isi kue Tar. Saya pula mendokumentasikan nama pedagang dan alamatnya agar suatu hari saya menemukan jenis apel yang sama dan bisa saya dapatkan dengan mudah. Begitu pula dengan bahan yang lain, seperti terigu, gula, telur, mentega, dll. saya menuliskan ciri- ciri bahan tersebut dengan sangat detail dan lengkap dan juga menuliskan alamat pedagang nya. Nah, dalam mendokumentasikan hal ini, saya membutuhkan waktu lebih dari 1 minggu dan uang yang cukup banyak hanya untuk membuat dokumentasi komposisi kue Tar. Baik... waktu, tenaga dan uang sudah keluar sangat banyak untuk mendokumentasikan komposisi kue Tar ini. setelah saya membuat kue Tar tersebut, ternyata memang, hasilnya sangat istimewa dan lezat. Karena hasilnya lezat, banyak sekali orang yang memesan kue Tar kepada saya. saya dapat dengan segera melayani pembeli yang memesan kue Tar kepada saya . Hanya dalam kurun waktu beberapa hari, saya bisa membuat kue Tar berskala banyak, dengan rasa yang sama lezatnya karena saya telah mendokumentasikan diskripsi komposisinya sebelumnya. Apabila saya tidak mendokumentasikan komposisinya secara detail, mungkin saya akan kesulitan membuat kue Tar yang sama lezatnya seperti pada waktu percobaan pertama saya yang berhasil dengan sukses.

Yap... ini metode yang bagus. Mendokumentasikan bahan pembuatan agar bisa membuat kue Tar yang sama lezatnya. Di saat itu, saya pun memiliki keyakinan yang tinggi bahwa; metode pendokumentasian bahan baku dalam sebuah percobaan/ eksperimen pembuatan kue adalah hal yang sangat bagus untuk dilakukan. Namun, disinilah letak kerancuan yang terjadi... Saya kemudian mencoba membuat kue donat. Metodenya sama; saya mendokumentasikan komposisi pembuatan kue donat dengan sangat detail. Setelah banyak tenaga, waktu dan fikiran yang saya keluarkan dalam mendokumentasikan bahan baku kue donat, ternyata kue donat yang saya buat rasanya TIDAK ENAK. Saya kemudian melakukan percobaan kedua, masih dalam membuat kue donat. Saya membuat kue donat dengan komposisi yang berbeda. Yah, seperti biasa, saya mendokumentasikan bahan baku kue donat nya sebelumnya dengan sangat detail. Waktu, tenaga dan uang keluar lagi. ternyata, percobaan yang kedua ini juga gagal. Kue donat yang saya buat rasanya semakin TIDAK ENAK. Saya melakukan percobaan ke tiga sampai dengan ke 20 dengan metode yang sama –mendokumentasikan bahan baku nya. baru di percobaan ke 20 inilah, kue donat yang saya hasilkan rasanya enak. Tapi, setelah saya hitung- hitung lagi, ternyata percobaan saya membuat kue donat selama 20 kali ini mengeluarkan biaya lebih dari 2 juta rupiah dan waktu yang saya butuhkan adalah 5 bulan. WOW... biaya eksperimen yang sangat tinggi !!!. mengapa terjadi biaya eksperimen yang begitu tinggi seperti ini?, dan mengapa waktu yang di butuhkan sangat lama?. hal ini di karenakan; saya selalu mendokumentasikan secara mendetail mengenai komposisi kue donat. Apabila saya mencatat hal penting perihal komposisi kue donat secara sederhana saja, biaya yang saya keluarkan mungkin hanya sekitar 100 ribu dan waktu yang saya butuhkan hanya 1 minggu. Ketika saya telah berhasil membuat kue donat yang lezat, barulah saya melengkapi data mengenai bahan baku pembuatan kue donat tersebut.
Ini sungguh kerancuan yang sangat berbahaya dan sulit di sadari oleh orang apabila dia bukan orang yang tajam melihat dinamika kehidupan. Memang benar, saya melihat dan tidak menyadari bahwa metode yang saya lakukan tersebut adalah metode yang buruk karena saya merasakan manfaat nya yang begitu hebat untuk kali pertamanya. Namun, kali pertama tersebut saya di bantu oleh keberuntungan. Saya sangat beruntung, saya merencanakan bahan baku kue Tar yang ternyata menghasilkan kue yang lezat. Tapi, di percobaan kedua, saya tidak beruntung karena saya merencanakan bahan baku donat yang menghasilkan donat yang tidak enak. Apabila saya meneruskan metode  eksperimen seperti ini, maka bisa- bisa saya hanya mampu menghasilkan varian/ ragam kue hanya sekitar 2 buah dalam satu tahun.

Kerancuan saya semakin sulit di sadari karena di metode sebelum pembuatan kue Tar ini, saya melakukan eksperimen dengan gaya serampangan. Saya membeli bahan baku, tapi tidak mencatat keterangan bahan bakunya. Tidak mencatat sama sekali. Akhirnya, ketika saya berhasil membuat kue yang lezat, saya lupa terhadap komposisi/ bahan baku yang saya gunakan. Akhirnya, eksperimen pembuatan kue yang saya lakukan semuanya gagal total. Metode pertama ini lebih buruk lagi dari metode kedua. Metode kedua mengisahkan, bahwa saya membuat kue tar dengan cara mendiskripsikan secara mendetail komposisi bahan baku yang saya gunakan. Bahkan sangat mendetail. Akhirnya, saya hanya bisa menghasilkan sekitar 2 buah kue yang lezat dalam kurun waktu 1 tahun. Akhirnya, saya menggunakan metode ketiga. Metode ketiga ini mengisahkan mengenai pembuatan kue yang dimana komposisinya saya catat, tapi tidak terlalu mendetail. Saya bisa membuat 1 variasi kue dalam kurun waktu 1 minggu. Setelah kue jadi, baru saya mencari informasi yang lebih lengkap lagi mengenai komposisi yang saya gunakan.

Pembuatan kue di atas hanyalah sebuah contoh kasus saja. Karena saya tidak pernah membuat kue. Sebelumnya, Saya membuat struktur kerja menggunakan metode yang sama seperti metode kedua dalam pembuatan kue Tar. Sekarang ini, karena saya memiliki metode yang lebih baik, yaitu metode ketiga. Saya meneliti aspek dalam sebuah struktur kerja pokok terlebih dahulu. Baru, setelah struktur kerja pokok telah berhasil di jalankan, barulah saya membuat struktur kerja pelengkap.

Ini memang sebuah hal yang sederhana. Dan seringkali, orang mengabaikan hal ini. dalam posisi manajemen yang tidak begitu kritis, hal seperti ini memang tidak cukup penting. Namun, apabila seseorang berada di posisi manajemen paling puncak, dan bersinggungan langsung terhadap resiko yang besar, maka pola fikir yang akan terjadi adalah “melakukan suatu hal dengan kehati- hatian yang sangat dalam”. Apabila orang sudah bersikap sangat hati- hati, maka dia juga akan berfikir lebih hati- hati lagi dalam membuat keputusan –dan seringkali akan lambat dalam melakukan perubahan. Namun, apabila orang yang menduduki posisi kritis dan bersinggungan dengan resiko langsung tersebut adalah orang yang berani melangkah dan memiliki pandangan yang tajam terhadap sebuah situasi, dia akan lebih cepat menyadari kerancuan wawasan seperti ini.

Catatan kaki 1: Relativitas terhadap hal yang lebih baik.
Ada seorang gadis cantik di sebuah desa. Menurut orang- orang desa, gadis tersebut adalah gadis tercantik yang pernah mereka lihat. Suatu ketika, ada konser di desa tersebut yang menampilkan seorang gadis foto model dari kota besar. Pada saat itu, si bunga desa di minta untuk membawakan acara pembukaan konser tersebut. secara langsung, si gadis desa itu bertemu dengan foto model dari kota besar yang lebih cantik dari dia. Orang- orang desa kemudian akan menganggap bahwa “gadis bunga desa itu lebih jelek daripada foto model dari luar kota tersebut”.
Apabila suatu hal pertama yang di anggap baik, namun di bandingkan dengan suatu hal kedua yang lebih baik, maka asumsi manusia akan mengatakan “hal pertama adalah buruk, dan hal yang kedua baik”. Manusia tidak akan mengatakan “hal pertama adalah baik, dan hal yang kedua lebih baik dari yang pertama”.

0 comments: